Jumat, 22 Februari 2013

Agama Shinto (Ajaran dan Sejarahnya) di Jepang


Agama Jepang biasanya disebut dengan agama Shinto. Sebagai agama asli bangsa Jepang, agama tersebut memiliki sifat yang cukup unik. Proses terbentuknya, bentuk-bentuk upacara keagamaannya maupun ajaran-ajarannya memperlihatkan perkembangan yang sangat ruwet. Banyak istilah-istilah dalam agama Shinto yang sukar dialih bahasakan dengan tepat ke dalam bahasa lainnya. Kata-kata Shinto sendiri sebenarnya berasal dari bahasa China yang berarti “jalan para dewa”, “pemujaan para dewa”, “pengajaran para dewa”, atau “agama para dewa”. Dan nama Shinto itu sendiri baru dipergunakan untuk pertama kalinya untuk menyebut agama asli bangsa Jepang itu ketika agama Buddha dan agama konfusius (Tiongkok) sudah memasuki Jepang pada abad keenam masehi.

Pertumbuhan dan perkembagan agama serta kebudayaan Jepang memang memperlihatkan kecenderungan yang asimilatif. Sejarah Jepang memperlihatkan bahwa negeri itu telah menerima berbagai macam pengaruh, baik kultural maupun spiritual dari luar. Semua pengaruh itu tidak menghilangkan tradisi asli, dengan pengaruh-pengaruh dari luar tersebut justru memperkaya kehidupan spiritual bangsa Jepang. Antara tradisi-tradisi asli dengan pengaruh-pengaruh dari luar senantiasa dipadukan menjadi suatu bentuk tradisi baru yang jenisnya hampir sama. Dan dalam proses perpaduan itu yang terjadi bukanlah pertentangan atau kekacauan nilai, melainkan suatu kelangsungan dan kelanjutan. Dalam bidang spiritual, pertemuan antara tradisi asli Jepang dengan pengaruh-pengaruh dari luar itu telah membawa kelahiran suatu agama baru yaitu agama Shinto, agama asli Jepang.
SHINTOISME (AGAMA SHINTO)

I. Pengertian
Shinto adalah kata majemuk daripada “Shin” dan “To”. Arti kata “Shin” adalah “roh” dan “To” adalah “jalan”. Jadi “Shinto” mempunyai arti lafdziah “jalannya roh”, baik roh-roh orang yang telah meninggal maupun roh-roh langit dan bumi. Kata “To” berdekatan dengan kata “Tao” dalam taoisme yang berarti “jalannya Dewa” atau “jalannya bumi dan langit”. Sedang kata “Shin” atau “Shen” identik dengan kata “Yin” dalam taoisme yang berarti gelap, basah, negatif dan sebagainya ; lawan dari kata “Yang”. Dengan melihat hubungan nama “Shinto” ini, maka kemungkinan besar Shintoisme dipengaruhi faham keagamaan dari Tiongkok.
Sedangkan Shintoisme adalah faham yang berbau keagamaan yang khusus dianut oleh bangsa Jepang sampai sekarang. Shintoisme merupakan filsafat religius yang bersifat tradisional sebagai warisan nenek moyang bangsa Jepang yang dijadikan pegangan hidup. Tidak hanya rakyat Jepang yang harus menaati ajaran Shintoisme melainkan juga pemerintahnya juga harus menjadi pewaris serta pelaksana agama dari ajaran ini.

II. Sejarah
Shintoisme (agama Shinto) pada mulanya adalah merupakan perpaduan antara faham serba jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam. Shintoisme dipandang oleh bangsa Jepang sebagai suatu agama tradisional warisan nenek moyang yang telah berabad-abad hidup di Jepang, bahkan faham ini timbul daripada mitos-mitos yang berhubungan dengan terjadinya negara Jepang. Latar belakang historis timbulnya Shintoisme adalah sama-sama dengan latar belakang historis tentang asal-usul timbulnya negara dan bangsa Jepang. Karena yang menyebabkan timbulnya faham ini adalah budidaya manusia dalam bentuk cerita-cerita pahlawan (mitologi) yang dilandasi kepercayaan animisme, maka faham ini dapat digolongkan dalam klasifikasi agama alamiah.
Nama Shinto muncul setelah masuknya agama Buddha ke Jepang pada abad keenam masehi yang dimaksudkan untuk menyebut kepercayaan asli bangsa Jepang. Selama berabad-abad antara agama Shinto dan agama Buddha telah terjadi percampuran yang sedemikian rupa (bahkan boleh dikatakan agama Shinto berada di bawah pengaruh kekuasaan agama Buddha) sehingga agama Shinto senantiasa disibukkan oleh usaha-usaha untuk mempertahankan kelangsungan “hidupnya” sendiri.
Pada perkembangan selanjutnya, dihadapkan pertemuan antara agama Budha dengan kepercayaan asli bangsa Jepang (Shinto) yang akhienya mengakibatkan munculnya persaingan yang cukup hebat antara pendeta bangsa Jepang (Shinto) dengan para pendeta agama Buddha, maka untuk mempertahankan kelangsungan hidup agama Shinto para pendetanya menerima dan memasukkan unsur-unsur Buddha ke dalam sistem keagamaan mereka. Akibatnya agama Shinto justru hampir kehilangan sebagian besar sifat aslinya. Misalnya, aneka ragam upacara agama bahkan bentuk-bentuk bangunan tempat suci agama Shinto banyak dipengaruhi oleh agama Buddha. Patung-patang dewa yang semula tidak dikenal dalam agama Shinto mulai diadakan dan ciri kesederhanaan tempat-tempat suci agama Shinto lambat laun menjadi lenyap digantikan dengan gaya yang penuh hiasan warna-warni yang mencolok.
Tentang pengaruh agama Buddha yang lain nampak pada hal-hal seperti anggapan bahwa dewa-dewa Shintoisme merupakan Awatara Buddha (penjelmaan dari Buddha dan Bodhisatwa), Dainichi Nyorai (cahaya besar) merupakan figur yang disamakan dengan Waicana (salah satu dari dewa-dewa penjuru angin dalam Budhisme Mahayana), hal im berlangsung sampai abad ketujuh belas masehi.
Setelah abad ketujuh belas timbul lagi gerakan untuk menghidupkan kembali ajaran Shinto murni di bawah pelopor Kamamobuchi, Motoori, Hirata, Narinaga dan lain-lain dengan tujuan bangsa Jepang ingin membedakan “Badsudo” (jalannya Buddha) dengan “Kami” (roh-roh yang dianggap dewa oleh bangsa Jepang) untuk mempertahankan kelangsungan kepercayaannya.
Pada abad kesembilan belas tepatnya tahun 1868 agama Shinto diproklamirkan menjadi agama negara yang pada saat itu agama Shinto mempunyai 10 sekte dan 21 juta pemeluknya. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa paham Shintoisme merupakan ajaran yang mengandung politik religius bagi Jepang, sebab saat itu taat kepada ajaran Shinto berarti taat kepada kaisar dan berarti pula berbakti kepada negara dan politik negara.

III. Kepercayaan dan Peribadatan Agama Shinto
A. Kepercawaan agama Shinto
Dalam agama Shinto yang merupakan perpaduan antara faham serba jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam mempercayai bahwasanya semua benda baik yang hidup maupun yang mati dianggap memiliki ruh atau spirit, bahkan kadang-kadang dianggap pula berkemampuan untuk bicara, semua ruh atau spirit itu dianggap memiliki daya kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka (penganut Shinto), daya-daya kekuasaan tersebut mereka puja dan disebut dengan “Kami”.
Istilah “Kami” dalam agama Shinto dapat diartikan dengan “di atas” atau “unggul”, sehingga apabila dimaksudkan untuk menunjukkan suatu kekuatan spiritual, maka kata “Kami” dapat dialih bahasakan (diartikan) dengan “Dewa” (Tuhan, God dan sebagainya). Jadi bagi bangsa Jepang kata “Kami” tersebut berarti suatu objek pemujaan yang berbeda pengertiannya dengan pengertian objek-objek pemujaan yang ada dalam agama lain.
Dewa-dewa dalam agama Shinto jumlahnya tidak terbatas, bahkan senantiasa bertambah, hal ini diungkapkan dalam istilah “Yao-Yarozuno Kami” yang berarti “delapan miliun dewa”. Menurut agama Shinto kepercayaan terhadap berbilangnya tersebut justru dianggap mempunyai pengertian yang positif. Sebuah angka yang besar berarti menunjukkan bahwa para dewa itu memiliki sifat yang agung, maha sempurna, maha suci dan maha murah. Oleh sebab itu angka-angka seperti 8, 80, 180, 5, 100, 10, 50, 100, 500 dan seterusnya dianggap sebagai angka-angka suci karena menunjukkan bahwa jumlah para dewa itu tidak terbatas jumlahnya. Dan seperti halnya jumlah angka dengan bilangannya yang besar maka bilangan itu juga menunjukkan sifat kebesaran dan keagungan “Kami”.
Pengikut-pengikut agama Shinto mempunyai semboyan yang berbunyi “Kami negara - no – mishi” yang artinya : tetap mencari jalan dewa. Kepercayaan kepada “Kami” daripada benda-benda dan seseorang, keluarga, suku, raja-raja sampai kepada “Kami” alam raya menimbulkan kepercayaan kepada dewa-dewa. Orang Jepang (Shinto) mengakui adanya dewa bumi dan dewa langit (dewa surgawi) dan dewa yang tertinggi adalah Dewi Matahari (Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan pemberi kamakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang pertanian.
Disamping mempercayai adanya dewa-dewa yang memberi kesejahteraan hidup, mereka juga mempercayai adanya kekuatan gaib yang mencelakakan, yakni hantu roh-roh jahat yang disebut dengan Aragami yang berarti roh yang ganas dan jahat. Jadi dalam Shintoisme ada pengertian kekuatan gaib yang dualistis yang satu sama lain saling berlawanan yakni “Kami” versus Aragami (Dewi melawan roh jahat) sebagaimana kepercayaan dualisme dalam agama Zarathustra.
Dari kutipan di atas dapat dilihat adanya tiga hal yang terdapat dalam konsepsi kedewaan agama Shinto, yaitu :
1. Dewa-dewa yang pada umumnya merupakan personifikasi dari gejala-gejala alam itu dianggap dapat mendengar, melihat dan sebagainya sehingga harus dipuja secara langsung.
2. Dewa-dewa tersebut dapat terjadi (penjelmaan) dari roh manusia yang sudah meninggal.
3. Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit (mitama) yang beremanasi dan berdiam di tempat-tempat suci di bumi dan mempengaruhi kehidupan manusia.

B. Peribadatan agama Shinto
Agama Shinto sangat mementingkan ritus-ritus dan memberikan nilai sangat tinggi terhadap ritus yang sangat mistis. Menurut agama Shinto watak manusia pada dasarnya adalah baik dan bersih. Adapun jelek dan kotor adalah pertumbuhan kedua, dan merupakan keadaan negatif yang harus dihilangkan melalui upacara pensucian (Harae). Karena itu agama Shinto sering dikatakan sebagai agama yang dimulai dengan dengan pensucian dan diakhiri dengan pensucian. Upacara pensucian (Harae) senantiasa dilakukan mendahului pelaksanaan upacara-upacara yang lain dalam agama Shinto.
Ritus-ritus yang dilakukan dalam agama Shinto terutama adalah untuk memuja dewi Matahari (Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang pertanian (beras), yang dilakukan rakyat Jepang pada Bulan Juli dan Agustus di atas gunung Fujiyama.

TAOISME

A. Latar belakang munculnya Taoisme
Menurut tradisi, taoisme berasal dari seorang ahli pikir tiongkok yang terkenal dengan nama “Lao tzu” (guru tua) yang diperkirakan lahir pada tahun 600 SM dan ada yang mengatakan ia lahir pada tahun 640 SM. Beberapa sarjana menyatakan bahwa beliau hidup tiga abad kemudian dari tahun tersebut, sedangkan dari sarjana lainnya lagi bersikap ragu-ragu apakah beliau ini pernah benar-benar ada. Menurut dugaan, Lao tzu hidup 50 tahun lebih dahulu dari pada Kun Fu Tse. Karena tahun kelahiran Kun Fu Tse diperkirakan pada 551 SM. Mengenai orang tuanya, masa kanak-kanak serta pendidikannya tidak banyak diketahui orang sebab tidak pernah ditulis dalam buku sejarah. Akan tetapi setelah ajaran-ajarannya yang berhubungan dengan mistik mulai dikenal oleh para ahli pengetahuan dan ahli filsafat di seluruh Tiongkok dalam masa-masa kemudian, maka baru timbul legenda tentang kehidupannya meskipun legenda tersebut tetap masih berupa teka-teki.
Lao tze dengan tekunnya mempelajari buku-buku kuno dan kemudian membentuk pendapatnya sendiri tentang agama dan filsafat yang pada masa kemudian sangat menarik perhatian orang-orang yang mempelajarinya. Ketika berumur 90 tahun dia memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai pegawai arsip kerajaan untuk kemudian melakukan pengembaraan ke seluruh negara guna menghindari tindakan raja yang ia anggap kejam atau dholim. Dia membeli sebuah kereta kecil yang ditarik oleh seekor sapi htam dan dengan keretanya itu ia menuju ke daerah Chu, akan tetapi ketika melintasi perbatasan, seorang penjaga perbatasan mengenalnya, penjaga perbatasan tersebut barnama Yin Hse menegurnya : “Tuan selalu menyukai hidup sebagai seorang pertapa, akan tetapi tuan tidak pernah menulis ajaran-ajaran tuan sekarang tuan ingin meninggalkan daerah ini, pelajaran tuan akan dilupakan orang maka dan itu saya tak akan mengijinkan tuan untuk menyeberang sehingga tuan menulis pokok-pokok ajaran tuan”.
Untuk memenuhi permintaan itu Lao Tse tertahan diperbatasan tersebut untuk menulis ajarannya dalam 5000 kata-kata yang terbagi 81 syair pendek, yang kemudian syair-syair tesebut disebut : “Tao Te King”. Lao Tse kemudian menyerahkan tulisannya kepada Yin Hse dengan menyatakan bahwa inilah yang harus saya ajarkan, sekarang izinkanlah saya meninggalkan tempat ini. Buku Tao Te King merupakan suatu kesaksian dari keserasian manusia dengan alam semesta ini, dapat dibaca hingga selesai dalam waktu setengah jam ataupun sepanjang hidup dan sampai hari ini merupakan teks dasar bagi keseluruhan pemikiran Tao.
Setelah kejadian tersebut baik La Tse maupun Yin Hse tidak muncul-muncul lagi seolah-olah mereka tak pernah hidup, akan tetapi bukunya “Tao Te King” tetap dipelajari orang. Menurut dugaan beberapa ahli sejarah, Lao Tse pernah ditemui oleh Kun Fu Tse dan mengadakan perdebatan tentang ajaran-ajarannya yang sanga antusias baginya. Menurut pendapat Prof James Legge dalam muqoddimah terjemahan buku “Tao Te King”, kedua orang tersebut (Kun Fu Tse dan Lao Tse) nampaknya bertemu lebih dari satu kali dan cenderung untuk menduga bahwa nama “Lao Tse” adalah timbul dari style bahasa Kun fu Tse supaya dikenal oleh pengikut-pengikutnya sebagai “guru tua”. Mereka adalah ahli pikir timur yang bertemu muka dengan pandangan pikiran yang berbeda, akan tetapi mereka tidak pernah menyinggung-nyinggung tentang perbedaan pandangan itu. Kettka Kun Fu Tse masih muda setelah mendapat kabar bahwa ada seorang ahli pikir tua yang bekerja sebagai pegawai administrasi diperpustakaan kerajaan, terkenal dengan nama “Lao Tse” maka ia memutuskan untuk menemuinya.
Menurut pernyataan Kun Fu Tse sendiri yang disampaikan kepada murid-muridnya tentang pertemuan dengan Lao Tse itu adalah menunjukkan bahwa pertemuan antara keduanya menimbulkan kemarahan atau pertentangan, oleh karena Kun fu Tse telah mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan berat untuk memancing jawaban-jawaban dari Lao Tse sehubungan dengan ajaran-ajarannya. Dialog antara keduanya antara lain adalah sebagai berikut : Lao Tse terlebih dahulu bertanya kepadanya tentang hal-hal yang menarik perhatiannya, maka Kun Fu Tse menjawab bahwa yang menarik perhatian dirinya ialah sejarah nenek moyang, terutama yang tertulis dalarn kitab “Shu K’ing” (riwayat). Tetapi Lao Tse menyela : “bahwa orang-orang yang kamu percakapkan itu telah lama meninggal dan tulang-tulangnya telah menjadi abu didalam kuburan”. Kun Fu Tse mengatakan bahwa : Manusia itu menurut watak aslinya adalah baik dan pengetahuannya dapat menjaganya untuk selalu baik”. Kemudian setelah mendengar uraian. Kun Fu Tse, demikian bertanyalah Lao Tse : “tetapi mengapa kamu mempelajari orang-orang kuno (nenek moyang)”. Dijawab oleh Kun : “pengetahuan yang baru harus berdasarkan pengetahuan kuno (lama)”. Belum selesai menerangkan, Lao Tse menganggunya dengan pertanyaan sebagai berikut : “Buanglah sikap ramah tamahmu dan lemparkanlah jubahmu yang indah itu. Orang yang bijaksana tidaklah memamerkan kekayaannya kepada mereka yang tidak tau dan ia tidak akan dapat mempelajari keadilan dan orang-orang kuno”. Mengapa tidak? Tanya Kun Fu Tse selanjutnya “bukannya dengan memandikan maka seekor burung dara itu menjadi putih” jawab Lao Tse. Setelah Kun Fu Tse berfikir sejenak maka berkatalah ia : “Saya tau bagaimana burung terbang, bagaimana ikan berenang, bagaimana. binatang lari, dan bagaimana yang lari itu bisa, juga tertangkap ikan yang berenang itu bisa juga terkail, burung terbang bisa juga tertembak. Tetapi ada ular naga yang besar dan saya tidak dapat menceritakan bagaimana, ia menaiki angin dan dapat mengendarai awan”. “Saya telah bertemu dan berbicara dengan Lao Tse dan hanya dapat membandingkan dia dengan ular naga itu”. Lalu ia tidak berkata apapun lagi kepadanya dan berlalulah ia.
Demikianlah salah satu contoh dialog antara dua orang filsuf tersebut, yang ajaran-ajarannya dikemudian hari besar pengaruhnya terhadap kebudayaan bangsa Tiongkok, bahkan terhadap way of life bangsa tersebut sampai sekarang, meskipun bangsa tersebut berada dibawah bayang-bayang hitam dan pemerintahan komunis yang menginginkan hancurnya segala bentuk keagamaan serta tradisi nenek moyangnya.

B. Pokok-pokok ajaran Taoisme.
Ajaran-ajaran Taoisme tercantum dalam kitabnya yang terkenal dengan nama “Tao Te’ King” yang terdiri dari 25 halaman yang kemudian diberi komentar oleh pelbagai ahli filsafat sehingga menjadi kitab yang sangat tebal. Kitab tersebut menyimpan suatu pengertian yang ajaib (misterius) yaitu yang tersirat dalam kata “TAO”. Kata ini menyulitkan banyak sarjana untuk mengartikannya. Ada yang mengartikan “TAO” dengan. “ Jalan” atau “Cara” atau “Akal” dan “Keutamaan” bahkan ada juga yang memberi arti sebagai “Kata-kata suci” dan sebagainya. Ajaran Taoisme cenderung membawa tradisi Tiongkok kuno ke dalam bentuk keagamaan dan filsafat. Dengan demikian berarti Lao Tse menjadikan Taoisme suatu faham yang dapat mengimbangi faham Konfusianisme yang terkenal dengan faham kuno dan yang berusaha mempertahankan tradisi Tiongkok dalam bentuk baru tetapi berada pada jalan yang sama dengan yang dilalui Taoisme.
Taoisme merupakan ajaran falsafah yang bercorak ketimuran terlihat dalam ajaran tersebut pandangan hidup yang lebih menitik beratkan kepada moral individual dan sosial, sebab ternyata didalam ajaran tersebut terdapat pandangan prinsipil bahwa manusia harus berbuat sesuai dengan sifat atau watak-watak yang dimiliki berikut : “Tao adalah sesuatu yang maha halus dan bilamana sesuatu itu dapat ditangkap pengertiannya maka ia bukanlah Tao yang sebenar-benarnya”. Sesuai dengan sifat atau watak-watak yang dimiliki oleh Tao yang digambarkan didalam muqoddimah Tao Te’ King sebagai berikut “Tao adalah sesuatu yang maha halus dan bilamana sesuatu itu dapat ditangkap pengertiannya, maka ia adalah bukan Tao yang sebenar-benarnya”. “Karena sifatnya transendental, maka Tao merupakan dasar segala yang ada”. Nyanyian suci yang tertulis dalam kitab Tao Te’ King antara lain memuja Tao sebagai hal yang paling gaib; kegaiban dari segala yang gaib, yang merupakan tempat masuk kedalam kegaiban dari semua kehidupan.
Dengan gambaran sifat-sifat Tao yang demikian rumitnya itu maka manusia hanya akan dapat menagkapnya melalui semedi (tafakur) atau pandangan dalam, sehingga ia tak dapat diuraikan dalam untaian dan lukisan kata-kata. Untuk lebih memudahkan memahami pengertian sifat-sifat Tao maka Tao diberi sifat sebagai berikut :
a) Tao bersifat Transendent juga ia bersifat Immanent artinya benda dalam alam kita.
b) Tao diartikan sebagai “Jalannya Universum” (jagad raya) yakni merupakan norma-norma, irama dan kekuatan pengatur alam ini. Oleh karena itu Tao, dengan pengertian ini dapat disamakan dengan “elan vitale” (kekutan dasar) dunia. Alam raya (universum) harus mengikuti jalannya yang telah ditetapkan supaya mendapatkan keseimbangan dan kestabilan.
c) Tao berarti sebagai suatu cara dengan mana orang harus mengatur hidupnya agar sejalan dengan yang diperbuatnya oleh alam (universum).
Konsep Taoisme tentang hidup manusia yang paling baik adalah sikap hidup yang tinggi nilainya yaitu sikap diam yang kreatif atau disebut “Wuwei”. Sikap demikian dapat menarik kedalam pribadi orang suatu kekuatan kejiwaan tertinggi berupa “aktivitas tertinggi” dan “kebebasan tertinggi”. Dengan sikap inilah manusia akan dapat menciptakan suatu kreasi (ciptaan) murni, sebab kreasi yang murni hanyalah timbul dari pribadi yang bebas dari segala bentuk tekanan. Sedangkan gerak dan tingkah laku yang goyah hanya akan menghasilkan suatu kreasi yang tidak murni dan kreasi demikian tidak dapat dipergunakan untuk mencapai kesadaran hati nurani manusia. Hanya dengan Wuwei manusia dapat mencapainya. Untuk tujuan itu Taoiesme menganjurkan agar supaya jiwa kita dibebaskan dari segala tekanan sehingga dengan demikian manusia akan dapat memperoleh ketengan dalam hati nuraninya sendiri. Oleh karena itulah “WUWEI” dapat dipandang sebagai unsur kehidupan yang berada diatas segala tekanan.
Ajaran Taoisme lainnya adalah konsepsinya mengenai kenisbian semua nilai dan sebagai imbalan dari asas ini adalah adanya persamaan dari hal yang bertentangan. Dalam hal ini Taoisme berkaitan dengan simbolisme Cina tradisional tentang yang dan yin yang digambarkan sebagai berikut :

Kutub-kutub ini menunjukkan segala pertentangan yang mendasar dalam hidup ini : baik-jahat, aktif-pasif, positif-negatif, terang-gelap, musim panas-musim dingin, pria-wanita, dan sebagainya. Tetapi walaupun asas-asasnya berada dalam ketegangan asas-asas itu tidak bertentangan secara mutlak. Asas-asas itu saling melengkapi dan saling mengimbangi satu dengan lainnya. Tiap-tiapnya memasuki ayah yang lain dan menempatkan dirinya dititik pusat dari wilayah lawannya itu. Pada akhirnya keduanya itu menyatu dalam sebuah lingkaran yang saling melingkupi sebagai suatu perlambang dari kesatuan terakhir dari Tao. Karena selalu berputar dan bertukar tempat hal-hal yang berlawanan hanya merupakan suatu tahap dari suatu roda yang sedang berputar. Hidup ini tidak bergerak ke depan dan ke atas menuju suatu puncak atau kutub yang telah mapan. la berputar dan melengkung kembali kepada dirinya sendiri sampai dirinya membentuk lingkaran yang utuh dan sadar bahwa dititik pusat semua hal itu adalah satu. Susunan inilah yang terkenal disebut dengan “Tao Ji” yaitu jalan yang diikuti oleh universum yang ditandai oleh musim setiap tahun. Kunfusianisme berpendapat demikian juga.

C. Perkembangan selanjutnya ajaran Taoisme.
Perkembangan selanjutnya ajaran Taoisme terletak ditangan para murid-murid Lao Tse yang terkenal diantaranya bernama Chung Tse’. Filosof Lao Tse meninggalkan sebuah kitab kecil “Tao Te’ King” yang berisi 5000 perkataan Tionghoa yang kemudian dikomentari oleh Chuang Tse menjadi 52 buah buku tebal (yang masih ada tinggal 33 buku saja). Buku Chuang Tse tersebut menjadi terkenal dan populer dinegeri Tiongkok dan banyak dikagumi orang disana. Akan tetapi sayang tulisan-tulisan Chuang Tse’ tersebut tidak mengambarkan ajaran Lao Tse yang murni, oleh karena disana sini penuh dengan pandangannya sendiri yang menyimpang dari ajaran gurunya. Setelah Chuang Tse meninggal, maka banyak penulis yang melanjutkan ajaran Taoisme dalam bentuk keagamaan. Kemudian setelah Taoisme dipandang sebagai agama maka faham ini mengalami kemerosotan karena di masukkannya magic takhayul, pendewaan terhadap kekuatan alam. Bahkan Lao Tse sendiri diperdewakan orang. Ketka Budhisme masuk Tiongkok, Taoisme meminjam dan padanya faham “reinkarnasi” (penitisan roh kembali) sehingga Lao Tse dianggap sebagai titisan dewa Budha. Setelah itu didirikanlah banyak kuil diseluruh Tiongkok diciptakan juga upacara-upacara dan kurban-kurban dan sebagainya untuk memuja Lao Tse dan roh-roh halus.
Maka akhirnya terjadilah percampuradukkan antara Taoisme dan Budhisme yang selanjutnya sulit dibedakan antara keduanya terutama dalam upacara-upacara pemujaan serta upacara-upacara keagamaan lainnya. Bertambah sulit lagi setelah Kunfusianisme bercampur baur dengan kedua faham tersebut. Pendapat Prof. James Legge ahli purbakala Cina (ahli sinologi) mengatakan babwa lebih dari 1000 tahun, “3 agama” telah terbentuk di Tiongkok yaitu Kunfusianisme,Taoisme dan Budhisme; bahkan menurut Prof. H. C Bleeker Taoisme menjadi agama berhala yaitu menjadi persekutuan keagamaan sebagaimana agama Hindu atau agama nasrari. Persekutuan tersebut timbul pada masa dinasti Han (221 Masehi) dimana didalamnya terdapat pemujaan terhadap orang-orang suci Taoisme dan dewa-dewa disertai dengan kurban-kurban dan upacara suci.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management